Tuesday, April 26, 2011
SUSTAINABLE DEVELOPMENT (Pembangunan Berkelanjutan)
Membangun merupakan kata kunci bagi seluruh lapisan struktural antara pemerintah, swasta dan partisipasi masyarakat. Prinsip pembangunan berwawasan lingkungan adalah pendayagunaan sumber daya alam sebagai pokok kemakmuran rakyat dilakukan secara terencana, bertanggungjawab, dan sesuai daya dukungnya dengan mengutamakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat serta memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup bagi pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
Konsep pembangunan ini bertujuan membangun kualitas SDM (Sumber Daya Manusia) yang mampu menyelaraskan tanggung jawab moral dengan strategi pembangunan berwawasan lingkungan. Hal ini perlu ditegaskan mengingat adanya kecenderungan gaya hidup konsumerisme, hingga bergesernya potensi fisik alami manusia (nature of human physical potention) akibat meluasnya pemanfaatan perangkat teknologi (dependent on technological instruments) dalam proses pembangunan itu berlangsung.
Konsep pembangunan yang ramah lingkungan ini bersifat ekonomis, karena dapat menghasilkan keuntungan lebih besar dengan modal yang lebih kecil yang bersifat bekelanjutan (sustainable). Baik dari segi lingkungan biogeofisik-kimia—karena tidak terjadi kerusakan—maupun sosial-ekonomi dan budaya.
Problem pembangunan yang hanya bertumpu pada satu aspek menyebabkan keterbelakangan dan kemiskinan menjadi suatu hal yang anakronistis, yang memperdebatkan the gap between poor and rich tentang perbedaan urgensi environmental priorities. Karena itu, strategi pembangunan yang konseptual harus meletakkan konsep pembangunan dengan unsur SDM yang integral dan bermoral.
Kompleksitas pembangunan melahirkan aneka pro dan kontra. Artinya, kolaborasi dampak pembangunan biasanya melahirkan dua temperamen. Pertama, pembangunan akan menghasilkan output yang bersifat positif, yang secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh pada perubahan kualitas hidup. Kedua, akan menimbulkan pula dampak negatif yang tidak menguntungkan seperti berdirinya industri kimia. Di satu sisi bermanfaat untuk menunjang kualitas hidup manusia, namun limbah industri tersebut menjadi problema bagi lingkungan hidup.
Peristiwa mengerikan dari tragedi Bhopal, India (3 Desember 1984), yakni bocornya gas beracun pabrik pestisida milik Union Carbide, menjadi pelajaran bagi kita semua. Di mana, secara mengerikan telah menyebabkan kematian sekitar 2.800 nyawa manusia. Korban lain yang harus menderita cacat seumur hidup karena kerusakan mata atau paru-paru mencapai lebih dari 150.000 orang.
Sementara itu, penyakit “Minamata” juga siap menyerang warga masyarakat di sekitar lokasi pertambangan atau pabrik dengan lepasnya berton-ton air raksa (mercury) dalam proses pendulangan emas. Penyakit Minamata telah menjadi salah satu contoh penyakit mengerikan akibat pencemaran mercury dari pabrik asetaldehida di Teluk Minamata Jepang. Penyakit Minamata ini mengakibatkan gangguan sistem saraf pusat (central nervous system), gangguan penglihatan dan pendengaran, gangguan fungsi ginjal dan kesuburan kandungan, membahayakan otak janin dan menimbulkan gangguan sistem saluran pencernaan (gastrointestinal).
Pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia telah dinyatakan dalam berbagai kemauan politik (goodwill) pemerintah berupa berbagai kebijakan, program dan kegiatan. Tetapi karena adanya keterbatasan sumber dana dan hambatan sosial-politik, kultural, dan sumber daya lainnya, maka pengelolaan lingkungan hidup menjadi sangat marginal. Faktor yang memengaruhi marginalisasi pengelolaan lingkungan hidup adalah kerumitan masalah lingkungan dan penegakan hukumnya.
Faktor pertama, berupa kerumitan masalah lingkungan di Indonesia dicirikan oleh jumlah penduduk yang tinggi, dengan penyebaran yang tidak merata. Adanya tingkat kemiskinan dan rendahnya tingkat pendidikan, membuat sebagian besar penduduk sulit memahami konsep pelestarian lingkungan hidup.
Faktor kedua, disebabkan kurangnya koordinasi dan integrasi pengelolaan lingkungan hidup—tujuan dan sasaran program pembangunan nasional, baik antara daerah, dunia usaha maupun masyarakat luas.
Faktor ketiga, adalah terbatasnya mandat kelembagaan. Apabila masalah pengelolaan lingkungan hidup belum diinternalisasikan di semua bidang, maka masalah kerusakan atau pencemaran lingkungan hidup akan terus timbul. Untuk mengatasinya, masalah mandat lembaga lingkungan perlu dipertegas dengan kewenangan penuh dari pemerintah yang didukung alokasi dan SDM yang memadai serta struktur organisasi yang solid.
Revolusi industri
Tuwarek Narkime, tetua adat suku Amungme, Papua, dalam buku Merana di Tengah Kelimpahan (Elsam, 1998), merintih dalam kepedihan: “Saya selalu bertanya pada Tuhan, dalam pikiran dan doa saya setiap hari. Mengapa Tuhan menciptakan gunung dan salju yang indah di daerah Amungme? Freeport, ABRI, dan orang luar datang mengambilnya, sementara kami menderita. Ditangkap, dibunuh tanpa alasan. Saya benar-benar marah pada Tuhan, mengapa Dia menempatkan segala gunung indah dan barang tambang itu di sini.”
Harus diakui bahwa revolusi industri telah mengubah kehidupan sosial-budaya mereka secara total, karena tanah ulayatnya menjadi kawasan pembuangan limbah tailing (ampas logam jadi) sisa pengolahan pabrik konsentrat PT Freeport Indonesia yang kerap dibuang ke laut atau ke sungai sesuai konsep Submarine Tailings Disposal (STD).
Sejak Grasberg ditambang, overburden (batuan penutup bijih tambang yang dibuang) sudah mencapai 0,8 miliar ton. Sementara limbah tailing mencapai 220.000 ton sehari dibuang ke Sungai Ajkwa. Endapan halus tailing bahkan sampai ke kawasan estuari, menumpuk di hutan bakau dan membentuk delta baru. Kawasan Grasberg pada ketinggian 4.200 m merupakan daerah penambangan tembaga, emas, dan perak terbesar di dunia.
Penggalian bijih dan pengupasan batuan penutupnya mengakibatkan terbentuknya lubang bekas tambang mencapai 410 ha dan kedalaman 1.300 meter. Batuan penutup ditimbun di sekitar lubang tambang terbuka di Lembah Carstenz, Grasberg Barat, dan Danau Wanagon. Dari total bijih yang diolah, hanya 3% yang bisa menjadi konsentrat tembaga, emas, dan perak. Sisanya (97%) dibuang kembali ke alam dalam bentuk tailing yang dialirkan dari dataran tinggi melalui sistem sungai Aghawagon–Otomona–Ajkwa.
Overburden—yang akan mencapai sekitar 2,675 miliar ton di akhir masa penambangan—dan limbah tailing yang jumlahnya luar biasa inilah yang menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup berupa perubahan habitat flora sub-alpina, geoteknik, geokimia, dan geomorfologi. Adapun pengendapan limbah tailing di DPA menimbulkan dampak berupa perubahan flora terestrial, biota aquatik, kualitas air, dan geokimia; termasuk senyawa sulfida logam dari batuan limbah seperti FeS2, jika bereaksi dengan oksigen di udara dan air dapat teroksidasi menjadi sulfat (air asam batuan).
Berbagai kondisi di lapangan menunjukkan kerusakan hutan dan perubahan fungsi danau atau sungai yang parah dan memprihatinkan. Secara kasat mata, dari darat, laut dan udara, endapan limbah tailing terlihat di mana-mana. Kondisi ini menyebabkan meningkatnya kekeruhan air di daerah estuari, membuat biota air yang menyukai air jernih punah, termasuk perubahan total kehidupan sosial-budaya masyarakat setempat.
For My Imaging Development......
Subscribe to:
Posts (Atom)