Meski masih muda, dia memimpin partai politik penguasa. Kini kursinya digoyang isu korupsi
Rumah itu berpagar tinggi. Lebih dari satu setengah meter. Tidak terlalu besar. Juga tidak semewah rumah para tetangga. Ruang tamunya penuh sesak ketika sebelas orang datang bertamu, Kamis sore 21 Juli 2011. Di ruang tamu itu ada bufet. Setinggi dada orang dewasa.
Di atas bufet itu ada foto keluarga. Di depan foto itu teruntai tulisan AKNAJIMA. Tulisan itu terbuat dari kayu. Kata itu adalah singkatan nama dari empat anak si empunya rumah. Sebuah kaligrafi dari kain berwarna keemasan terpajang di dinding.Di seberang jalan, sebuah rumah berlantai dua sedang direnovasi. Dikurung pagar seng berwarna hijau. Sejumlah tukang terlihat sibuk. Memoles semen di dinding. Lebih luas dari rumah yang dihuni itu, revonasi ini tampaknya hampir pungkas.
Dua rumah di Kompleks TNI Angkatan Laut di Jakarta Timur itu, seperti merekam perjalanan hidup si pemilik, Anas Urbaningrum. Rumah yang dihuni itu sudah lama dibeli. Sedang rumah yang direnovasi ini dibeli belakangan.
Jika ruang tamu rumah pertama itu tak begitu besar, rumah kedua ini tampaknya disiapkan untuk menerima tamu yang banyak. Di sudut halaman, berdiri sebuah bangunan berbentuk joglo.
Sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, yang dua kali sukses mengusung Susilo Bambang Yudhoyono ke kursi presiden, tamu memang silih berganti datang. “Mulai pukul enam pagi, sudah ada yang bertamu,” kata seorang sekretaris Anas kepada VIVAnews.com, Kamis 11 Juli 2011.
Dan para tamu itu kian membeludak sepekan belakangan. Sebab Anas Urbaningrum menjadi pusat perhatian khayalak ramai. Para wartawan juga berjubel di muka rumah. Bertanya soal prahara politik yang menerpa Demokrat. Partai yang selama masa kampanye Pemilu 2009 sohor dengan jingle iklan “ Katakan Tidak Pada Korupsi” itu, kini diterpa isu suap dan dugaan korupsi.
Dan Anas terjepit di posisi susah. Pria kelahiran Blitar, 15 Juli 1969 itu, dituduh mengepul harta. Dari sejumlah proyek di Kementerian Pemuda dan Olahraga. Dengan uang itu dia membeli suara peserta Kongres di Bandung setahun silam.
Dua tuduhan itu menggoyang kursi Anas sebagai ketua umum partai, sebab si penuduh bukan orang sembarangan. Muhammad Nazaruddin, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, tim sukses inti saat Kongres, dan rekan kongsi Anas dalam sejumlah bisnis. Lama bersama, Nazaruddin mengaku paham luar dalam perjalanan politik Anas Urbaningrum.
Anas Urbaningrum berusaha terlihat tenang menghadapi semua tuduhan itu. “Jadi orang itu jangan kemerungsung,” kata Anas dalam wawancara khusus dengan VIVAnews.com. Ingin jadi apa, jalankan saja. “Garis nasib sudah ditentukan Tuhan.”
Garis nasib menjadi politisi memang bukan kehendak Anas semenjak belia. Ayahnya seorang guru di Blitar. Terinspirasi sang ayah, dia juga ingin menjadi guru. Tapi semenjak SMP dia sudah aktif berorganisasi. Bakat itu terus terasah hingga kuliah.
Saat kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, Anas bergabung dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), organisasi yang banyak melahirkan pemimpin di sejumlah partai politik. Karirnya mulus. Tahun 1997 menjadi ketua umum organisasi itu.
Berada dipucuk organisasi besar ketika nasib negeri ini ditentukan para mahasiswa, sungguh melempangkan karir politik Anas Urbaningrum. Dalam reli unjuk rasa menumbangkan Soeharto 1998, Anas juga menghela anggota ke jalanan. Kian dikenal setelah diwawancara media massa lokal dan negeri seberang.
Dan sesudah itu dia melesat cepat. Dalam usia 29 tahun Anas menjadi anggota Tim 7 yang merevisi Undang-undang Politik tahun 1998. Menjadi anggota Komisi Pemilihan Umum dari 2001, sampai kemudian direkrut Partai Demokrat tahun 2005. Lama di jaringan organisasi, Anas mengajak banyak aktivis masuk Demokrat. Di pusat juga daerah. Mereka itulah kekuatan Anas di partai itu.
Kekuatan itu terbukti digdaya dalam Kongres Partai Demokrat tahun lalu. Anas mampu menerobos dua pertahanan lawan sekaligus. Andi Mallarangeng yang dikabarkan disokong penuh SBY dan keluarga Cikeas, serta politisi senior Marzuki Alie yang lebih awal masuk partai itu dan pernah pula menjadi Sekjen. Jabatan yang memungkinkan Marzuki gampang memelihara jaringan hingga daerah.
"Itu bukan produk kerja 2 sampai 3 bulan, namun hasil dari apa yang saya lakukan selama lima tahun terakhir," ujar Anas soal kememangan di Kongres itu.
Tapi itu versi Anas. Nazaruddin, yang menjadi penggalang dana untuk Anas saat Kongres itu, menyodorkan versi lain. Anas menjadi ketua umum, katanya, lantaran sanggup membeli suara dengan uang.
Total uang yang digelontorkan kubu Anas saat Kongres ini, kata Nazaruddin, US$20 juta. Sekitar Rp170 miliar. Uang dibagikan kepada semua pemilik hak suara yang berjanji memilih Anas. Itu sebabnya dia menang.
Membeli suara mungkin sudah lazim dalam politik. Tapi pertanyaanya-- jika tuduhan itu benar-- darimana Anas memperoleh uang sebanyak itu. Nazaruddin mengisahkannya panjang lebar.
Kongsi Nazaruddin
Nazaruddin mengaku berkongsi bisnis dengan Anas Urbaningrum. Antara lain di PT Anugerah Nusantara dan PT Panahatan. Tanggal 1 Maret 2007, Anas membeli 30 persen saham Nazaruddin di PT Anugerah. Saat itu Nazaruddin masih Wakil Bendahara Umum Demokrat.
Anas juga memiliki saham di salah satu perusahaan Nazaruddin, PT Panahatan. Berdasarkan dokumen PT Panahatan yang diperoleh VIVAnews.com, pada 2008, Anas dan Nazaruddin memiliki 35.000 lembar saham. Sisanya dimiliki oleh sepupu Nazaruddin, M Nasir, yakni 30 ribu lembar saham.
Dengan nilai satu lembar saham Rp1 juta, berarti Anas Urbaningrum mempunyai Rp35 miliar di perusahaan itu, Muhammad Nazaruddin Rp35 miliar, dan M Nasir Rp30 miliar. Dalam stuktur perusahaan, Nasir sebagai direktur, Nazaruddin Komisaris Utama, dan Anas sebagai komisaris.
PT Anugerah itu, kata Nazaruddin, memiliki anak perusahaan yakni PT Anak Negeri. Perusahaan yang terakhir itulah yang terlibat kasus suap dalam pembangunan Wisma Atlet di Palembang.
Kasus ini tengah disidang. Mindo Rosalina Manulang, salah seorang terdakwa kasus ini, mengaku dikorbankan Nazaruddin. Dalam persidangan, Rosa mengaku uang suap itu mengalir ke sejumlah anggota DPR dari Demokrat, juga Anas Urbaningrum. Kuasa hukum Anas, Patra M Zen membantah keras tuduhan itu. “Itu hanya keterangan satu saksi,” katanya.
Anas sendiri mengaku pernah berbisnis dengan Nazaruddin. “Pernah bekerjasama, kemudian saya berhenti. Mundur karena saya konsentrasi di politik,” kata Anas.
Selain pernah kongsi bisnis, Anas dan Nazaruddin seperti selalu seiring dalam politik. Sama-sama masuk Demokrat tahun 2005. Saat Anas menjadi Ketua Fraksi Demokrat DPR, Nazaruddin jadi Bendahara Fraksi. Saat Anas menjadi Ketua Umum Demokrat, Nazaruddin kemudian menjadi Bendahara Umum.
Tapi Anas menegaskan bahwa Nazaruddin dipilih Formatur. “Saya memang tidak menolak. Sebetulnya bukan sreg,” kata Anas. Anas mengaku mendapat sejumlah informasi yang kurang hepi tentang Nazaruddin. Tapi ketika ditanya, Nazaruddin doyan menyangkal.
Dari sejumlah bisnis dan gaji sebagai anggota DPR itulah, rejeki Anas mengalir. Tahun 2005 total kekayaan Anas Rp1,17 miliar. Tahun 2007, harta Anas berlipat dua jadi Rp2,23 miliar. Berbentuk rumah dan tanah di Jakarta Timur, Depok, Karawang dan Bekasi. Lalu berapa jumlah hartanya setelah terjun ke sejumlah bisnis itu?
Itu yang belum jelas. Anas sudah melaporkan harta kekayaan setelah dia keluar dari DPR 2010. "Tapi datanya belum diverifikasi. Jadi yang ada cuma data 2007," kata Kepala Bagian Pemberitaan dan Media Massa Komisi Pemberantasan Korupsi, Priharsa Nugraha, 15 Juli lalu.
Toyota Alphard, yang nilainya lebih semiliar rupiah yang biasa dipakai, disebut Anas sebagai pinjaman dari seorang kawan. “Yang jelas saya tidak miskinlah. Masak Ketua Umum partai miskin?” kata Anas tersenyum.
Humbalang dari Hambalang
Beberapa kilometer dari Sirkuit Internasional Sentul, tepatnya di Desa Hambalang, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor, terbentang sebuah lahan seluas 32 hektar. Tertutup pagar seng. (Lihat foto-foto proyek Hambalang itu di sini)
Sejumlah alat berat parkir di kawasan itu saat VIVAnews datang pada Rabu 20 Juli siang. Sejumlah mobil keluar-masuk gerbang, yang dijaga ketat sejumlah petugas keamanan.
Ini adalah proyek prestisius Kementerian Pemuda dan Olahraga untuk menggantikan Sekolah Atlet Ragunan. Fasilitas pendidikan dan pelatihan olah raga nasional bertaraf internasional ini menelan uang Rp1,2 triliun. Dikerjakan dua BUMN konstruksi, Adhi Karya dan Wijaya Karya.
Adhi Karya mengerjakan pekerjaan struktur, arsitektur hingga infrastruktur. Proyek raksasa itu ditargetkan tuntas Desember 2012.
Nazaruddin, yang belakangan ini doyan menuduh Anas, menjadi anggota Badan Anggaran ketika proyek ini dibahas di DPR. Dia menyebutkan bahwa Anas menerima Rp100 miliar dari proyek Hambalang ini.
Sejumlah Rp50 miliar dari duit itu, kata Nazaruddin, dipakai untuk pemenangan Anas di Kongres 2010. Juga membayar Tim Konsultan Anas sebagai calon Presiden. Dana dari Hambalang dan proyek Wisma Atlet itulah, kata Nazar, yang digunakan Anas membeli suara di kongres Bandung.
Uang diantar dengan mobil boks ke Hotel Aston di Bandung. "Ada buktinya. CCTV di Hotel Aston bisa perlihatkan itu,” katanya. Mobil itu membawa uang tunai US$5 juta dan Rp35 miliar. "Uang itu kemudian dibawa ke sebuah kamar, untuk dibagi-bagikan kepada DPC- DPC," kata Nazaruddin.
Yulianis, yang bekerja di money changer milik Nazaruddin, mengaku sebagai pengantar uang. Melalui pengacaranya, Ignatius Supriyadi, Yulianis mengaku disuruh Nazar membawa US$2 juta ke Bandung pada saat Kongres.
“Tetapi setelah selesai Kongres uang itu tidak dipakai, tetapi ada tambahan lagi dari pak Nazar, saya tidak tahu berapa jumlahnya," ujar Ignatius Supriyadi. "Yulianis hanya mencatat keluar masuknya uang berdasarkan perintah Nazar.”
Anas membantah keras memborong suara dalam Kongres itu. "Saya kan pengantinnya, Jadi tidak tahu di lapangan bagaimana. Tapi saya yakin itu tidak ada," kata Anas. Merasa namanya dicemarkan, Anas melaporkan Nazaruddin ke polisi.
Namun Anas mengakui, memang ada pemberian uang transportasi. Dan itu wajar saja. "Masak yang berjuang bersama tidak difasilitasi," ujar Anas. Sejumlah pengurus daerah mengaku menerima uang yang disebut untuk transportasi itu.
Pernyataan berbeda muncul dari GPBH Prabukusumo yang menjadi Ketua DPD Partai Demokrat Daerah Istimewa Yogyakarta saat Kongres 2010. "Pada saat kongres, saya cuma dengar saja ada pembagian dolar-dolar itu," kata Prabukusumo yang kini sudah mundur dari Demokrat itu, di rumahnya, komplek Kraton, Alun-alun Selatan, Yogyakarta, Jumat, 22 Juli 2011.
Namun kata Prabu, dia tidak melihat secara langsung proses transaksi politik uang itu. "Saya tidak melihat dengan mata kepala sendiri, tapi saya dengar ada kasak-kusuk itu dari daerah lain," ujar adik Sultan Hamengku Buwono X ini.
Soal Hambalang Anas juga keras membantah. Dia menegaskan tidak pernah tahu proyek ini. Sementara soal tim konsultan, Anas menyebut itu resmi untuk Tunas Garuda, sebuah program Partai Demokrat menggalakkan persepakbolaan.
Wijaya Karya dan Adhi Karya membantah tuduhan proyek ini hasil nepotisme. “Kami bersama Adhi berhasil mendapatkan proyek ini melalui tender, bukan penunjukan langsung," ujar Natal Argawan, Sekretaris Perusahaan Wijaya Karya. "Yang menunjuk pemenang tender kan pemerintah. Itu proyek dengan proses tender, bukan penunjukan langsung," kata Sekretaris Perusahaan Adhi Karya, Kurnadi Gularso.
Dituntaskan di Rakornas
Sekurangnya 5000 kader Demokrat memadati Sentul International Convention Centre. Sabtu,23 Juli 2011. Ribuan spanduk bertebaran di sekitar arena. Juga bendera biru. Banyak spanduk berisi doa. Meminta kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar menjauhkan partai itu dari segala fitnah. Sekitar 500 polisi menjaga di sekitar arena.
Dalam kata sambutan pembukaan, SBY menegaskan bahwa Demokrat sedang mendapat cobaan berat. Berbulan-bulan menjadi bulanan sejumlah kalangan. “Dan saya akan berada di barisan paling depan menghadapi itu,” kata SBY yang disambut standing applaus ribuan kader.
Di tengah kirsuh politik yang menimpa partai itu, Rakornas ini memang terasa seperti Kongres. Jauh-jauh hari, sejumlah orang yang menyebut diri Komunitas Anak Muda Demokrat Sejati --KAUM Demokrat Sejati—mendesak Kongres Luar Biasa(KLB) digelar.
Ketua Umum KAUM Demokrat Sejati, Herbert Sitorus, menilai KLB penting digelar lantaran banyak elit partai terseret kasus dugaan korupsi. Didesak sejumlah kalangan itu, plus friksi yang belum tuntas di tubuh elit partai, menyuburkan spekulasi bahwa Rakornas ini bisa berujung Kongres Luar Biasa.
Sumber VIVAnews.com, yang menjadi anggota panitia acara ini, mengaku bahwa panitia sangat hati-hati memilih moderator dan pemimpin sidang dalam setiap rapat.
Sebab tidak ada jaminan peserta sidang yang datang dari semua daerah itu, tidak ada yang menuntut Kongres Luar Biasa saat sidang berlangsung. Itu sebabnya, kata sumber itu, pemimpin sidang harus netral.
Marzuki Alie, pesaing Anas dalam Kongres Bandung menjamin tidak akan ada KLB. "Saya jamin tidak ada KLB," kata Marzuki. Marzuki siap meredam para pendukungnya dalam Kongres Bandung, jika ada yang menuntut KLB.
Ketua Partai Demokrat Sulawesi Selatan, Ilham Arief Sirajuddin, menegaskan bahwa meski ada sejumlah desakan penggantian Anas dari kursi Ketua Umum, namun itu tidak menjadi agenda. Jika semua isu yang membelit Anas selama ini benar, “Saya yakin, tanpa KLB sekalipun, Anas akan siap mundur," kata Ilham.
Anas sendiri menegaskan, “Rakornas ini untuk konsolidasi. Bahwa ada satu atau dua yang berpikir KLB mungkin saja. Tapi saya yakin mayoritas kader Demokrat itu lurus,”kata Anas.
Sejumlah sumber di partai itu menyebutkan bahwa kemungkinan yang terjadi adalah pergantian sejumlah orang yang selama ini dianggap bermasalah. “Mungkin tiga tapi bisa juga lebih dari itu.,” kata sumber itu.
Dalam kata sambutannya SBY memang sempat menegaskan bahwa ulah sebagian orang, ribuan kader Demokrat kena getahnya. “Ini benar-benar karena nila setitik, rusak susu sebelanga,” kata SBY dengan nada geram.
Ruangan terasa senyap sejenak. Ribuan kader itu takzim mendengar. Juga Anas Urbaningrum, yang duduk diapit Ibas Yudhoyono dan Ani Yudhoyono di deretan depan.
No comments:
Post a Comment