Saturday, November 24, 2012

Di Balik Tradisi Memandikan Pusaka di Bulan Sura

Inilah salah satu upaya manusia untuk melakukan introspeksi diri




Ada banyak mitos mengatakan, memandikan pusaka di bulan Sura mengandung hal-hal yang mistis. Namun apakah Anda tahu bahwa memandikan pusaka di bulan Sura justru menjadi salah satu upaya manusia untuk melakukan introspeksi terhadap dirinya sendiri.
Di salah satu pendopo hotel di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Kamis (22/11), tampak puluhan orang menyaksikan dengan seksama tradisi “jamasan pusaka”. Mereka tampak serius mengamati seorang ahli keris yang tengah membersihkan keris dengan perasan air jeruk nipis. Ada  yang mengangguk-anggukkan kepala seperti baru saja mendapat suatu hal yang baru. Sementara, ada pula yang terus melontarkan pertanyaan kepada ahli keris itu.
Begitulah sedikit rekaman suasana tradisi jamasan pusaka yang setiap tahun diadakan di Yogyakarta saat bulan Sura. Jamasan pusaka atau orang umum menyebutnya memandikan pusaka merupakan cara untuk merawat benda pusaka, benda bersejarah, atau benda kuno.
Sesepuh Pemerhati Keris, Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Sumowijoyo menjelaskan, jamasan pusaka merupakan tradisi turun-temurun yang harus dilakukan di bulan Sura. Pusaka seperti keris, tombak, dan lainnya bagi orang Jawa bukanlah pusaka biasa karena tidak dibuat sekadarnya melainkan dengan laku yang berbagai macam. Seperti zaman Sultan Agung, karena dibuat dari seorang Empu maka  pusaka mendapatkan tempat istimewa seperti  simbol status, senjata tikam, tanda jabatan, dan lainnya.
KRT Sumowijoyo menjelaskan bahwa tradisi jamasan di bulan Sura memiliki nilai filosofi tersendiri. Bagi orang Jawa, bulan Sura merupakan tahun baru Jawa yang menjadi bulan sakral dan penuh rahmat. Untuk itulah, masyarakat Jawa diharapkan melakukan introspeksi diri atas perbuatan yang telah dilakukan. Jamasan pusaka menjadi salah satu contohnya.
Ia melanjutkan,memandikan keris tak sekadar untuk mengawetkan atau mempercantik keris. Memandikan keris berarti melakukan ritual membersihkan diri. Orang yang memandikan akan merefleksikan bahwa membuat keris tidaklah mudah. Dalam hal ini dibutuhkan doa dan spirit yang kuat, kesabaran, ketelitian, dan pantang menyerah. Nilai-nilai inilah yang akan diilhami oleh orang yang memandikannya.
Keris pun memiliki banyak filosofi kehidupan. Bagian-bagiannya seperti pesi (pegangan keris), gonjo, tikel alis, pijetan, greneng, dan lainnya bercerita tentang kehidupan manusia. Di antaranya manusia perlu memiliki pegangan dalam hidupnya, manusia perlu mempertimbangkan segala perbuatan, perlu adanya musyawarah bersama, memiliki jiwa yang bersih, dan lainnya.
“Harapannya ketika keris ini dijamas, maka si penjamas itu bisa mendapatkan spirit baru dalam kehidupannya. Tak hanya itu, jamasan juga membuat orang lebih sensitif terhadap rangsangan yang akan datang,”paparnya.
Cara Memandikan Keris
Pemerhati keris lainnya, Deni Ekasusila menjelaskan, ada dua cara menyirami pusaka yakni dengan direndam atau dicelup, serta di-koloh atau dikuaskan. Bahan yang digunakan seperti batu warangan atau arsen, air jeruk nipis, sabun colek, dan minyak pusaka. Sedangkan  alat- alat yang diperlukan adalah telawah atau blandhongan, sikat yang halus, kain pel yang mudah menyerap air, dan ember.

Pusaka yang kotor dan berkarat direndam terlebih dahulu dengan air kelapa. Baru setelah itu dibersihkan  dengan jeruk nipis yang telah dibelah dan dicampurkan dengan sabun colek. Setelah terlihat menjadi putih, pusaka disiram air dan disikat berulangkali sampai air tidak mengeluarkan buih. Kemudian dipel dan dijemur di sinar matahari.”Kalau tidak kotor banget, satu sampai dua jam jamasan sudah selesai,” kata Deni.
(Olivia Lewi Pramesti)

No comments:

Post a Comment