Citra Partai Demokrat yang mampu menjadi pemenang Pemilu 2004 dan 2009, kini mulai meredup. Persoalannya sederhana saja. Terjadi konflik internal dalam partai berlambang bintang mercy tersebut. Di samping itu, adanya isu korupsi yang dilakukan oleh sejumlah elite parpol tersebut menjadi blunder, semakin merontokkan kekokohan pengaruhnya hingga ke akar rumput.
Praktis daya tarik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai pendiri ikut terpuruk. Tak ayal, berbagai survei menunjukkan secara kasat mata bahwa popularitas nama SBY, yang dulu bak magnet, sekarang mulai ramai dihujat dan dikritik oleh berbagai elemen masyarakat, termasuk para aktivis mahasiswa tertentu. Saat ini, merupakan masa krusial bagi petinggi PD untuk menenangkan berbagai konflik yang terjadi, khususnya yang menimpa para petinggi partai tersebut. Sejalan dengan itu, para politikus yang menjadi pengimbang pemerintahan yang berkuasa, seharusnya bisa memanfaatkan momentum ini untuk mendongkrak atau menaikkan popularitas diri maupun parpol mereka. Dengan melakukan manuver politik, kita menilai para petinggi partai besar lain di luar PD seperti Partai Golkar, PDI Perjuangan, maupun PKS berpotensi mendapatkan banyak dukungan dari masyarakat luas. Apalagi, Pemilu 2014 tinggal 3 tahun lagi. Yang artinya, berita negatif yang diembuskan oleh berbagai media massa cetak dan elektronik, yang menyoroti keganjilan dan konflik yang menimpa Partai Demokrat, menjadi kampanye gratis bagi pesaing (musuh politik) partai yang didirikan oleh Presiden SBY dan kawan-kawan tersebut. Gejala-gejala terjadinya upaya untuk menggoyang hegemoni kekuasaan Cikeas, yang diwakili oleh keluarga SBY, dan kroni-kroninya, bisa dicium dari kian santernya wacana pedas yang dihembuskan oleh banyak kalangan, yang pada intinya menyerang kekuasaan Istana Negara. Dengan dukungan berbagai data dan fakta yang dikeluarkan oleh kalangan intelektual melalui beragam seminar, dialog publik dan acara semacamnya, seperti yang diusung oleh Rizal Ramli, yang belakangan ini getol mengkritik kepemimpinan SBY. Dunia politik bangsa ini secara hukum alam memang selalu berputar ritmis, terkadang berjalan berulang dan kerap juga mengalami percepatan. Roda zaman juga terus berputar. Tak ada yang abadi di dunia ini, kecuali perubahan demi perubahan. Apalagi, kekuasaan. Ia akan beralih dari satu penguasa ke penguasa lain. Tergantung pada garis takdir dan segala upaya yang dilakukan oleh umat manusia sebuah bangsa. Rezim Orde Lama hanya berkuasa selama 21 tahun. Rezim Orde Baru sendiri memegang kursi pemerintahan selama lebih kurang 32 tahun. Sedangkan kita tidak tahu, Rezim Orde Reformasi yang mulai dipegang oleh Presiden BJ Habibie, dilanjutkan oleh Gus Dur dan Megawati serta sekarang dipegang oleh SBY; bakal berakhir kapan? Apakah dapat bertahan hingga melebihi masa Orde Baru, atau setangguh pemerintahan semasa Kerajaan Majapahit yang bisa bertahan selama ratusan tahun? Tak ada ilmu yang bisa menjawab pertanyaan di atas. Karena, bisa jadi, Orde Reformasi bisa jatuh di tengah jalan, sebagaimana nasib pemerintahan Orde Baru, yang berakhir dengan pahit. Entah apakah seandainya Orde Reformasi jatuh, akan terlahir periode baru atau Orde Pascareformasi? Semuanya masih abu-abu, belum jelas jluntrungan-nya. Masa depan tidak bisa dipastikan bagaimana kesudahannya. Yang bisa dilakukan manusia pada zaman ini adalah menghasilkan karya cipta peradaban terbaik, yang mampu memberikan kontribusi positif bagi kemajuan zaman. Karena, sangat logis, hukum atau keyakinan yang terbaik hari ini, bisa dianggap sudah kedaluwarsa pada peradaban zaman yang akan datang. Dengan demikian, rezim yang berkuasa pada saat ini adalah produk terbaik yang dimiliki oleh sebuah bangsa. Kecenderungan yang terjadi, manusia yang hidup pada zaman ini, umumnya selalu menyalahkan peradaban pada zaman sebelumnya. Dan, manusia yang hidup pada peradaban zaman dahulu menyalahkan pendahulunya juga. Akhirnya menimbulkan siklus salah menyalahkan lintas peradaban (rezim) dari masa ke masa. Bukan sebaliknya, kita semakin dewasa dan mawas diri dengan berbagai pengalaman sejarah dan perjalanan peradaban zaman yang telah berlalu.
Maka dari itu, salah besar bagi bangsa ini, jika kita hanya berfokus untuk saling menjatuhkan kekuasaan. Bukannya membangun kekuasaan, sebagai satu kesatuan, tidak saling meniadakan. Mampukan para politikus yang kini menjadi pengkritik pemerintahan yang sedang berkuasa, melakukan tugasnya dengan baik. Yakni membangun kekuasaan baru, tanpa perlu menjatuhkan satu rezim, apalagi dengan dibarengi berbagai tindakan anarkis yang memakan banyak korban jiwa. Kita masih ingat betul berapa harga mahal sebuah demokrasi, ketika melengserkan Rezim Orde Baru.
Penulis adalah Ketua Umum PPWI DIY, alumnus UIN-UNY Yogyakarta.
No comments:
Post a Comment